Senin, 26 Oktober 2020

PENERAPAN MULTIMEDIA DALAM PENDIDIKAN


    Sebutan multimedia yang digunakan dalam pembelajaran saat ini ini berikan cerminan terhadap sesuatu sistem pc dimana seluruh media; bacaan, grafik, audio/ suara, animasi serta video terletak dalam satu model fitur lunak yang menjelaskako ataupun menggambarkan satu program pembelajaran. Program multimedia yang dirancang spesial buat keperluan pembelajaran butuh menemukan atensi yang sungguh- sungguh supaya program tersebut bisa penuhi keperluan pembelajaran. Pertumbuhan program multimedia buat keperluan pembelajaran akhir- akhir ini sangat menggembirakan baik secara kuantitas ataupun mutu. Perihal ini sebab banyaknya pengembang yang turut dan meng- anekaragamkan pengembangan program multimedia. 

     Bagi kajian Morgan& Shade( 1994) dari sekian banyak program yang terdapat di pasaran cuma 20%- 25% yang dikategorikan penuhi ketentuan dan layak digunakan buat keperluan pembelajaran, sedangkan 75%- 80% program bisa mengelirukan serta masih sulit buat digunakan apalagi lebih cenderung cuma menunjukkan game serta hiburan. Sedangkan Wright& Shade( 1994) berkata kalau keberkesanan proses belajar dengan memakai multimedia bergantung kepada mutu program( aplikasi). Ini berarti kalau pengembangan program multimedia buat keperluan pembelajaran bukanlah semudah buat program game serta hiburan. Sebab itu program multimedia buat keperluan pembelajaran membutuhkan disain yang cocok dengan tujuan pembelajaran yang tercantum dalam kurikulum. 

     Bagi sebagian ahli pembelajaran, teknologi, serta psikologi, pengembangan program multimedia buat pembelajaran supaya menekankan pada ketentuan gampang digunakan, penuhi keperluan meningkatkan pengetahuan, tingkatkan keahlian serta kreativitas, serta sediakan kemudahan interaktif dan membolehkan terdapatnya umpan balik( Chang, N., Rossini, Meter. L.& Pan, A. C., 1997; Elkind, 1987; Morgan& Shade, 1994; Haugland& Wright, In press). Apalagi Wright( 1994) meningkatkan ketentuan apabila program multimedia tersebut hendak digunakan oleh umur anak- anak, hingga pengembangannya hendaklah memasukkan faktor cerita, membuat lukisan, mendesain suatu, menulis cerita yang berisi foto buat mendukung pengembangan pola fikir kanak- kanak yang kreatif daninovatif. 

    Suatu riset yang dicoba oleh Edwards, Williams serta Roderick( 1968) tentang pemakaian bermacam media dalam mengawali proses belajar, menampilkan kalau partisipan didik dalam kelompok eksperimen yang memakai media proses belajar yang terpadu mendapatkan hasil yang signifikan lebih baik pada sesi 0. 5 daripada partisipan didik kelompok kontrol yang memakai media tradisional( novel bacaan) dalam proses belajarnya. Sebagian hasil riset lain tentang multimedia buat pendidikan menampilkan hasil yang signifikan antara lain[Munir( 1997, 2001, 2006, 2007, 2008, 2009, 2010), Rusman,( 2007), Aref, Asmaiwaty( 2007), Indrihardini, Tri( 2009)]. A. PERKEMBANGAN MULTIMEDIA DALAM PENDIDIKAN

    Pada dekade 1960 pc(komputer) sudah menciptakan bacaan, suara, serta grafik meski masih sangat simpel sehingga dapat digunakan dalam media pembelajaran. Donald Bitzer bagaikan Ayah PLATO( Programmed Logic for Automated Teaching Operations) meningkatkan pendidikan berbasis pc( CAI: Computer Assisted Instruction) pada tahun 1966 di University of Illinois at Urbana- Champaign. Uji coba pendidikan berbasis pc awal dicoba pada tahun 1976 di sekolah Waterford Elementary School. 

    Lahirnya multimedia yang digunakan dalam pembelajaran merupakan salah bagian pertumbuhan dari pendidikan berbasis pc tersebut. Pada dekade tahun 1990 pc berbasis multimedia interaktif mulai tumbuh, para pendidik mulai memikirkan implikasi apa yang bisa jadi mencuat dari media baru ini bila diterapkan dalam area belajar mengajar. Dalam jangka waktu yang relatif pendek, timbulnya multimedia serta teknologi komunikasi yang terpaut sudah menerobos nyaris ke tiap aspek dalam kehidupan warga. Mishra serta Sharma( 2005) berkata kalau multimedia interaktif yang awal mulanya ditatap bagaikan opsi teknologi dalam konteks pembelajaran buat alibi sosial, ekonomi, serta pedagogis sudah jadi sesuatu kebutuhan dalam pembelajaran. Banyak lembaga pembelajaran menginvestasikan waktu, usaha serta duit mereka ke dalam pemakaian teknologi.

    Penggunaan teknologi multimedia di lembaga pendidikan dipandang perlu agar pendidikan tetap relevan dengan abad ke-21 (Selwyn & Gordard, 2003). Untuk bisa efektif menggunakan komputer dalam pendidikan, seorang pendidik maupun peserta didik perlu memiliki literasi komputer. Menurut Munir (2009) diantara literasi yang harus dimiliki adalah kesadaran dan kemampuan menggunakan perangkat lunak, kemampuan menggunakan internet, e-mail, mengenal secara umum perangkat keras, mempunyai keyakinan dalam penggunaan komputer dan mempunyai kemampuan mempelajari komputer sendiri.

    Secara ekonomis penggunaan multimedia menurut Bennet, Priest, & Macpherson (Mishra dan Sharma, 2005) adalah penggunaan multimedia baru dalam skala besar dan teknologi komunikasi yang terkait untuk pengajaran dan pembelajaran dapat menawarkan harga yang lebih murah dibandingkan pengajaran dengan cara tradisional (tatap muka) dan jarak jauh. Hal ini juga akan membantu membangun dan mempertahankan keunggulan kompetitif bagi lembaga di era globalisasi pendidikan.

     landasan pedagogis sangat erat kaitannya dengan landasan ekonomi sebab penggunaan multimedia dalam pendidikan menjadi kekuatan pendorong terbesar yang ditunjang dengan penanaman modal secara besar-besaran yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan. Integrasi multimedia ke dalam kurikulum akan menyebabkan terjadinya transformasi pedagogis dari pendekatan pembelajaran tradisional yang berpusat pada pendidik menuju pendekatan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik.

Dari perspektif peserta didik, peranan pendidik beralih dari yang semula berperan sebagai instruktur tradisional (pendekatan instructivist) dan pemasok pengetahuan menjadi peran yang lebih erat terkait dengan dukungan dan fasilitas dari konstruksi pengetahuan secara aktif oleh peserta didik. Pendekatan yang berpusat pada peserta didik menyiratkan pemberdayaan bagi peserta didik individu dan kecakapan pengarahan diri bagi peserta didik, sehingga lebih bermakna, pengalaman belajar otentik yang mengarah pada pembelajaran seumur hidup. Implikasi ini terdapat pada inti penjelasan mengenai pedagogis berbasis konstruktivis untuk integrasi multimedia dalam konteks pendidikan (Selwyn & Gorard, 2003; Gonzales dkk, 2002).

Walaupun mungkin diakui pendidik bahwa multimedia memiliki potensi untuk menawarkan kesempatan belajar yang baru dan disempurnakan, banyak pendidik yang gagal menyadari potensi ini. Sejumlah pendidik yang menggunakan program multimedia di lingkungan pembelajaran mereka, sebagian besar hanya menggunakannya sebatas untuk alat akses data, komunikasi, dan administrasi.

Munir (2011) mengatakan bahwa multimedia dalam pendidikan memiliki tiga fungsi utama yaitu fungsi suplemen yang sifatnya pilihan, fungsi pelengkap dan fungsi pengganti. Sejauh ini multimedia masih dianggap sebagai fungsi pilihan dan pelengkap dibanding dengan fungsi pengganti. Selama ini multimedia masih dianggap sebagai salah satu dari fungsi tersebut, belum dianggap sebagai satu kesatuan yang membuat satu kurikulum yang terintegrasi. Karena kurangnya integrasi ini maka hasilnya akan menghasilkan perubahan yang minimal.

Kegagalan kurangnya efektivitas penerapan multimedia dalam pendidikan, selain dari tidak terintegrasinya

multimedia ke dalam kurikulum, juga dilatarbelakangi suatu kenyataan bahwa kebanyakan pendidik tidak siap untuk perubahan yang dituntut dan dihasilkan oleh hadirnya multimedia. Meskipun beberapa pendidik yang berpengalaman memiliki kemampuan, keterampilan, pengetahuan baik teknis maupun pedagogis sehingga mengetahui apa dan bagaimana mentransformasi proses pembelajaran dari menggunakan media tradisional ke penggunaan multimedia.

B. KARAKTERISTIK MULTIMEDIA UNTUK KEPERLUAN PENDIDIKAN

Penggunaan multimedia dalam pendidikan mempunyai beberapa keistimewaan yang tidak dimiliki oleh media lain. Diantara keistimewaan itu adalah:

  1. Multimedia dalam pendidikan berbasis komputer;

  2. Multimedia mengintegrasikan berbagai media (teks, gambar, suara, video dan animasi) dalam satu program secara secara digital;

  3. Multimedia menyediakan proses interaktif dan memberikan kemudahan umpan balik;

  4. Multimedia memberikan kebebasan kepada peserta didik dalam menentukan materi pelajaran;

  5. Multimedia memberikan kemudahan mengontrol yang sistematis dalam pembelajaran.

MULTIMEDIA DALAM PENDIDIKAN BERBASIS KOMPUTER

Criswell (1989) mendefinisikan CAL (computer aided learning) sebagai penggunaan komputer dalam menyampaikan bahan pengajaran dengan melibatkan peserta didik secara aktif serta memberikan umpan balik. Pendek kata tujuan CAL ialah untuk mengajar. Mengajar bermakna menyampaikan pengajaran dengan menggunakan program komputer. Menurut Gagne dan Briggs (Wang dan Sleeman 1994) komputer menjadi popular sebagai media proses belajar karena komputer memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh media proses belajar yang lain sebelum zaman komputer. Diantara keistimewaan tersebut adalah:

5

  1. Hubungan interaktif: Komputer menyebabkan terwujudnya hubungan diantara stimulus dengan respon. Bahkan menurut Dublin (1984, 1996) komputer dapat menumbuhkan inspirasi dan meningkatkan minat.

  2. Pengulangan: Komputer memberi fasilitas bagi pengguna untuk mengulang apabila diperlukan. Untuk memperkuat proses belajar dan memperbaiki ingatan. Dalam pengulangan amat diperlukan kebebasan dan kreativitas dari para peserta didik (Clements, 1994).

  3. Umpan balik dan penguatan: Media komputer membantu peserta didik memperoleh umpan balik (feed back) terhadap pelajaran secara leluasa dan bisa memacu motivasi peserta didik dengan penguatan positif yang diberi apabila peserta didik memberikan jawaban.

    Berbagai kajian telah dijalankan untuk mengukur

keberkesanan komputer sebagai media proses belajar. Dari hasil kajian yang lalu ada yang menyatakan bahwa CAL telah menunjukkan kesan positif terhadap proses belajar dan ada juga yang menyatakan CAL menunjukkan kesan negatif. Namun secara keseluruhannya lebih banyak kajian yang menyatakan bahwa CAL memberi kesan yang positif dibandingkan dengan proses belajar yang menggunakan metoda tradisional (Wang dan Seleman l994).

Kulik, Bergert dan William (1983) telah mengkaji tingkat signifikansi penggunaan Proses Belajar Berbantukan Komputer terhadap 48 orang peserta didik. Hasil kajiannya menunjukkan bahwa 39 orang peserta didik yang menggunakan komputer memperoleh nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan peserta didik yang menggunakan metoda tradisional. Kajian ini juga menyatakan bahwa CAL memiliki tingkat signifikansi 0.5 berbanding dengan proses belajar dengan menggunakan metoda tradisional.

Menurut hasil kajian Mathis, Smith dan Hansen (1970) terhadap sikap para peserta didik di perguruan tinggi, didapati bahwa peserta didik memiliki sikap yang positif terhadap CAL apabila peserta didik tidak mengalami kesukaran dari segi literasi komputer sedangkan bagi peserta didik yang mengalami kesulitan literasi komputer mereka bersifat negatif CAL. Walau demikian, mereka masih menganggap CAL adalah lebih baik diikuti daripada tidak

6

sama sekali. Magidson (1978) menyatakan bahwa sikap peserta didik yang menggunakan CAL bagi pelajaran Bahasa Inggeris lebih positif dibandingkan dengan peserta didik Biologi. Koch (1973) menyatakan CAL lebih berkesan dalam bidang bahasa asing daripada bidang sains.

Suppes dan Morningstar (1969) mengkaji CAL dalam bidang Bahasa Rusia mendapatinya lebih berkesan karena lebih mudah diingat daripada bidang Biologi. Roblyer (1988) menyatakan bahwa dalam bidang Matematika, bahasa dan keterampilan kognitif, hasilnya adalah sama antara CAL dengan metoda tradisional. Begitu juga kajian yang dijalankan oleh Munir dan Halimah Badioze Zaman (1998) mengatakan bahwa multimedia memberikan dampak yang signifikan dalam meningkatkan kemampuan anak-anak belajar membaca. Sedangkan dalam bidang sains, CAL memberikan dampak dua kali lebih baik dibandingkan proses belajar dengan menggunakan metoda tradisional (Wang dan Seleman 1994).

MULTIMEDIA MENGINTEGRASIKAN BERBAGAI MEDIA

Pemanfaatan multimedia telah memberikan dampak yang positif dalam proses pembelajaran, namun dampak tersebut dalam kenyataannya masih perlu lebih didesiminisikan kepada para pendidik, sebab pada kenyataannya para pendidik sulit memenuhi tantangan perubahan yang dituntut oleh teknologi multimedia dan terbatas juga dalam mengeksploitasi perubahan tersebut.

Torrisi & Davis (2000) melakukan studi dalam mengembangkan materi multimedia online. Data yang diperoleh dari studi ini menyoroti beberapa isu utama yang ditujukan dalam upaya pengembangan pendidik. Pendidik dalam studi ini diminta untuk mengidentifikasi apa yang mereka anggap sebagai kompetensi utama yang harus peserta didik kembangkan sebagai hasil studi subjek. Setiap pendidik juga diminta untuk menjelaskan peranan materi secara online dalam pengajaran mereka. Kurangnya keselarasan antara kompetensi utama dan penggunaan materi online merupakan indikasi dari penggunaan teknologi multimedia yang tidak benar- benar terintegrasi dengan tujuan kurikulum, isi, sasaran dan konteks, melainkan hanya sebatas tambahan atau add-on saja.

Alasan penggunaan teknologi multimedia sebagai pelengkap itu terungkap dalam wawancara dengan pendidik tersier, yang menyarankan penggunaan teknologi multimedia online sebagai

page7image1532850032

7

latihan dalam menerjemahkan materi ke dalam media lain, yang kebanyakan menggunakannya untuk akses dan sebagai alternatif dari penyampaian secara tatap muka atau penyampaian materi yang dicetak. Persepsi penggunaan teknologi ini tidak mendorong perubahan pedagogis. Persepsi ini mengarah pada strategi kontra produktif yang meniru metode tradisional namun dengan media baru. Hasilnya tidak ada dampak dan bahkan dampak negatif sekalipun tidak ada dalam lingkungan pembelajaran. Sebaliknya, apa yang dibutuhkan adalah konseptualisasi penggunaan teknologi multimedia dalam konteks pendidikan sebagai suatu proses transformasi yang mengakui dan berusaha untuk melakukan perubahan dalam prakteknya. Untuk mengatasi masalah ini, disarankan untuk mempertimbangkan gagasan mengenai penggunaan teknologi progresif yang ditemukan dalam literatur.

Sandholtz, Ringstaff, dan Dwyer (1997) menyarankan bahwa penggunaan teknologi multimedia tambahan sebagaimana yang diamati dalam studi ini harus dipandang sebagai tahap awal dari serangkaian perubahan yang akan memuncak pada tahap ketiga dari transformasi praktek dan integrasi secara penuh. Ide mengenai penggunaan teknologi progresif ini didukung oleh yang lain. Misalnya, Goddard (2002) mengakui lima tahap perkembangan, yaitu: pengetahuan (kesadaran adanya teknologi); persuasi (teknologi sebagai pendukung produktivitas tradisional daripada sebagai kurikulum yang terkait); keputusan (penerimaan atau penolakan terhadap teknologi untuk digunakan dalam kurikulum -penerimaan akan mengarah pada penggunaan tambahan); implementasi (pengakuan bahwa teknologi dapat membantu mencapai beberapa tujuan kurikulum); dan konfirmasi (penggunaan teknologi mengarah pada redefinisi dari lingkungan pembelajaran- integrasi sejati akan mengarah pada perubahan).

Di sini diusulkan bahwa membentuk pendidikan dengan menggunakan teknologi multimedia dalam hal penggunaan tingkat progresif dan integrasinya adalah berharga sehingga memaksa konseptualisasi integrasi teknologi yang efektif sebagai proses "perubahan" yang secara inheren menyebabkan praktik transformasi; bukan sebagai akuisisi keterampilan sederhana yang dibutuhkan untuk menterjemahkan materi ke dalam media baru.

Dengan anggapan bahwa integrasi teknologi adalah sebuah proses yang mengarah pada transformasi dan inovasi juga mengarahkan perhatian kita kepada kebutuhan untuk memasukkan unsur-unsur praktek reflektif ke dalam setiap kerangka kerja dan

8

pedoman pengembangan pendidik. Istilah "praktek reflektif" digunakan di sini untuk mencakup gagasan bahwa pendidik secara sadar membuat penilaian tentang penampilan dan keberhasilan strategi mereka. Pendapat mengenai evaluasi (baik formal maupun informal) adalah inheren dalam gagasan praktek reflektif.

Menurut Ballantyne, Bain dan Packer (1999), kurangnya pemikiran secara mendalam menyebabkan kurangnya kesadaran dari "kesesuaian dari... metode yang dapat membawa peserta didik ke pembelajaran yang berkualitas tinggi", sehingga menghasilkan metode pengajaran tradisional atau metode pengajaran yang tidak efektif. Kebutuhan bagi pendidik untuk dapat mendalami praktek- praktek mereka tidak dapat dikesampingkan. Pengembangan strategi baru yang secara tepat dapat mengintegrasikan teknologi multimedia ke dalam kurikulum hanya akan berlangsung, menurut Tearle, Dillon, dan Davis (1999), ketika pendidik telah "memeriksa kembali pendekatannya dalam proses belajar mengajar".

Dalam 2000 studi yang dilakukan oleh Torrisi dan Davis, penemuan penting yang lain adalah bahwa diantara kekhawatiran tentang proses produksi oleh pendidik, perhatian utamanya tertuju pada kurangnya pengetahuan mengenai atribut media dan kemungkinannya serta perasaan ketidakmampuan mereka dalam hal memanfaatkan potensi dari media yang tersedia. Hal ini sejalan dengan temuan mengenai pengembangan profesional yang lain (Ellis, O'Reilly, & Debreceny, 1998), yang menjelaskan bahwa pendidik hanya tertarik untuk mempelajari aspek teknis dari teknologi multimedia hanya sejauh bahwa pengetahuan ini berguna dalam menginformasikan keputusan dan pilihan pedagogis. Implikasi dari pengamatan ini adalah bahwa upaya pengembangan pembelajaran yang bertujuan untuk mengintegrasikan teknologi multimedia secara efektif dalam konteks pendidikan harus mengajarkan para pendidik bagaimana menggunakan teknologi dalam konteks "menyesuaikan kebutuhan dengan kemampuan peserta didik untuk tujuan kurikulum" (Gonzales, 2002).

Pandangan yang dijunjung tinggi dalam Bab ini adalah bahwa dengan menggunakan teknologi multimedia dalam konteks kurikulum menyiratkan penggunaan teknologi yang tepat. Pandangan penggunaan teknologi tepat guna ini mendukung pendekatan mode campuran ke dalam rancangan kurikulum. Penekanannya adalah pada pemanfaatan atribut berbagai teknologi multimedia dan pilihan strategi lain dalam hal kesesuaian dengan persyaratan konten, konteks, kebutuhan peserta didik, tujuan dan kurikulum.

9

MULTIMEDIA MENYEDIAKAN PROSES INTERAKTIF DAN MEMBERIKAN KEMUDAHAN UMPAN BALIK.

Kemampuan multimedia dalam meningkatkan kreativitas sudah teruji karena multimedia juga memiliki unsur interaktivitas. Sehubungan itu, Romiszowski (1993) menterjemahkan interaktivitas sebagai hubungan dua jalur di antara pendidik dengan peserta didik. Menurut Jacobs (1992) hubungan dua jalur akan menciptakan situasi dialog antara dua atau lebih peserta didik. Hubungan dialog ini akan dapat dibina dengan memanfaatkan komputer karena memiliki kapasitas multimedia yang akan mampu menjadikan proses belajar menjadi interaktif.

Keberkesanannya disebabkan pendidik akan menjawab persoalan- persoalan peserta didik dengan cepat di samping mengawasi perkembangan kognitif, afektif dan psikomotor para peserta didik. Stratfold (1994) telah maju selangkah dalam mengukur unsur interaktivitas program multimedia itu dengan menyarankan untuk pertama sekali bahwa pencipta multimedia mesti menentukan umpan balik jenis manakah yang mesti diberikan kepada peserta didik, sebab umpan balik itulah yang akan membentuk hubungan dua jalur di antara pendidik dan peserta didik seperti yang disebutkan di atas. Selain itu, proses belajar termasuk proses belajar bahasa juga memikirkan berbagai panca indra dan keterampilan. Ini termasuk merespon dan cara meniru karena perbuatan itu juga melibatkan berbagai panca indra merangsang anak-anak dalam proses belajar.

Implikasi umpan balik yang bisa diterapkan dalam proses belajar membaca dengan menggunakan multimedia melalui konsep permodelan, latihan, dukungan, artikulasi dan refleksi. Dalam konteks perbicaraan ini makna permodelan bermakna bahwa multimedia diibaratkan sebagai seorang pakar yang dengan kepakarannya boleh mempamerkan pelajaran dengan lebih berkesan kepada anak-anak. Pelajaran membaca dapat diwujudkan dengan memodifikasi unsur- unsur yang ada dalam multimedia. Diantaranya menjadikan teks berklip, memasukkan intonasi suara yang serasi, menjadikan gambar yang bersesuaian dengan animasi yang menarik. Sementara itu latihan pula memerlukan software untuk anak-anak terus menerus melakukan interaktif ke atas persoalan-persoalan yang diberikan sehingga anak-anak menemui jawaban yang benar dan tepat. Metoda


latihan ini lebih cenderung kepada perbaikan untuk meningkatkan pelajaran berdasarkan tingkat kreativitas anak-anak dalam memecahkan masalah yang diberikan.

Faktor yang tidak kurang pentingnya dalam konteks ini ialah program multimedia membawa anak-anak mengikuti pelajaran apakah dilakukan sendiri maupun berkelompok dengan lebih mudah. Untuk mencapai tujuan itu, diperlukan basisdata yang berisikan kata- kata yang digunakan dalam proses belajar membaca. Ini dapat memudahkan proses belajar mereka dari segi memanfaatkan basisdata tersebut untuk memahami arti bukan saja kata tetapi juga kalimat. Kemudahan yang merupakan nilai tambahan itu disebut dukungan. Semua itu untuk merangsang anak-anak yang sukar untuk memahami arahan dalam bentuk teks, fasilitas yang disebut artikulasi yang diberi secara audio itu dapat membantu. Konsep lain yang disebut itu ialah refleksi. Ini merupakan tambahan program multimedia yang akan memperjelas suatu masalah atau persoalan-persoalan apa saja dengan menggunakan kemampuan animasi atau video.

Dengan kata lain, apapun persoalan yang memerlukan penjelasan lebih terperinci dapat dijelaskan secara animasi dan video. Penjelasan itu sangat penting untuk menjadikan masalah yang abstrak menjadi lebih nyata, sehingga lebih mudah difahami. Disini tampak bahwa program multimedia memiliki banyak pilihan kepada anak- anak, mereka boleh memilih cerita yang disukainya.

Konsep umpan balik yang disediakan itu dapat menentukan tingkat kreativitas anak-anak untuk mengerjakannya. Semakin banyak umpan balik disediakan, semakin banyak kreativitas anak- anak diperlukan. Dari timbal balik yang diberikan itu setidaknya ada dua kreativitas yang ditunjukkan anak-anak. Pertama, kreativitas mereka dalam memperluas pengetahuan bahasa, menambah penguasaan kosa kata, selain mempunyai pemahaman antara teks bahasa dengan konteks bahasa. Kedua, kreativitas mereka dalam keterampilan menggunakan tombol-tombol, arahan dan simbol yang disediakan dalam program proses belajar menggunakan multimedia itu.

Menurut Gagne (1971) konsep timbal balik itu sangat penting dalam proses pengajaran. Walaupun Gagne menyadari bahwa pada saat itu belum ada media yang mampu memberi interaktif dan umpan balik, namun beliau sadar bahwa konsep tersebut sangat diperlukan dalam proses belajar. Umpan balik bermakna pusat ide untuk

menentukan interaksi, tanpa umpan balik peserta didik tidak akan mengetahui akibat dari tindakannya.

Umpan balik terhadap satu tindakan memberi semacam informasi tentang bagaimana tindakan mempengaruhi sistem. Dengan diberi umpan balik pengguna dapat menyesuaikan tindakan mereka. Laurillard (1993) menyebutkan bahwa ada dua jenis umpan balik dalam program komputer yaitu (intrinsic) dan umpan balik yang mesti dimasukan oleh peserta didik (extrinsic).

Umpan balik intrinsic‟ ialah umpan balik sebagai akibat satu tindakan secara alami (natural) dalam arti bahwa program telah menyediakan fasilitas antara pertanyaan dengan jawaban. Contohnya apabila anak-anak menekan kata air maka program akan menunjukkan jawaban air laut, air sungai, air minum atau air hujan. Sedangkan umpan balikextrinsic‟ adalah umpan balik terhadap data yang dimasukan ke dalam program karena program menyediakan fasilitas pencarian suatu kata tertentu. Misalnya anak-anak ingin tahu apakah makna dari kata air maka program menampilkan basis data yang berhubungan dengan air atau kalau kata tersebut tidak diketahui maka akan ada jawaban penolakan.

Bagi satu program multimedia yang diciptakan untuk keperluan media interaktif fasilitas umpan balik amatlah penting. Hasil umpan balik diharapkan dapat meningkatkan anak-anak belajar. Tanpa umpan balik anak-anak tidak mengetahui akibat dari tindakannya sehingga dapat menimbulkan keraguan kepada mereka. Pengembang program multimedia harus mempertimbangkan umpan balik yang sesuai bagi peserta didik karena umpan balik dapat meningkatkan tingkat kreativitas anak- anak.

Mari kita telaah teknologi multimedia sebagai alat untuk komunikasi dan transfer informasi. Komunikasi adalah pusat dalam perkembangan masyarakat dan bertanggung jawab terhadap semua pengetahuan yang telah dikumpulkan sejauh ini. Dengan kata "komunikasi," berarti proses transmisi data dan informasi dari satu orang ke orang lain, yang akhirnya mengarah kepada pengetahuan setelah diolah dalam pikiran penerima.

Proses komunikasi untuk mentransfer informasi biasanya dua arah. Rantai peristiwa dimulai dengan memicu pikiran si pengirim (si A), yang pada gilirannya, memberikan ide membentuk sandi dalam

bentuk bahasa atau ekspresi atau gambar. Pesan yang dikodekan (sinyal) kemudian dikirim ke si penerima (si B), yang harus memiliki decoder yang tepat untuk memahami pesan yang disampaikan oleh sinyal tersebut. Si penerima mungkin dapat dengan tepat merespons dengan mengembalikan pesan yang serupa kepada si pengirim setelah pengkodean sesuai.

Proses komunikasi, bagaimanapun, berlangsung hanya jika si penerima memiliki decoder/encoder yang sesuai. Model ini ditunjukkan oleh Gambar 3. Model ini juga dapat dengan mudah dimodifikasi untuk oleh komunikasi antara manusia dengan komputer dengan mengganti "si B" dalam model dengan komputer. Perkembangan dalam teknologi multimedia dan internet memberikan dorongan yang diperlukan untuk simbiosis yang berkembang antara manusia dengan komputer yang memanfaatkan berbagai mode komunikasi dan saluran. Aplikasi mereka mungkin tidak terbatas, karena teknologi berada di bawah konstannya evolusi.

Gambar 2.1 Encoder-Decoder dan Model Saluran Komunikasi

Sumber: Diadaptasi dari model Wilbur Schramm (1954), sebagaimana dimaksud dalam Tannenbaum (1998).

  1. Sumber Informasi: Proses yang bertanggung jawab dalam penyeleksian atau pembentukan pesan yang diinginkan.

  2. Pesan: Bahan yang oleh sumber informasi ingin disampaikan.

  3. Sinyal: Bentuk (pesan) yang dikirim ke si penerima.

  4. Saluran Transmisi: Media dimana pesan dikirm.

page13image1527498608


Dalam kasus komunikasi antara manusia-komputer, interaksi dengan komputer dan dialog komunikatif terjadi melalui beberapa mode dan saluran yang terbatas. Mode tersebut adalah visual dan audio. Dalam setiap mode, terdapat berbagai saluran. Contohnya adalah teks, grafis, animasi, dan saluran video dalam modus visual; suara, bunyi, dan musik dalam modus audio; mode berinteraksi secara diskrit dan kontinu dengan menggunakan keyboard dan mouse/joystick, dan lain- lain. Efektivitas komunikasi ini tergantung pada seberapa baik mode dan komponen media dipilih dan dikombinasikan. Berbagai teknologi interaktif tersedia untuk tujuan ini.

MULTIMEDIA MEMBERIKAN KEBEBASAN KEPADA PESERTA DIDIK DALAM MENENTUKAN MATERI PELAJARAN

Peserta didik diharapkan mampu untuk menentukan topik proses belajar yang sesuai dan disukainya. Kebebasan menentukan topik adalah salah satu karakteristik proses belajar dengan menggunakan komputer. Menampilkan kembali bahan-bahan pelajaran dan data yang tersimpan secara cepat dan mudah yang disediakan dalam program proses belajar. Proses belajar penjelajahan seperti ini telah lama dipraktekan dalam dunia pendidikan seperti yang digunakan dalam hiperteks, basis data, dan lainnya dalam konteks multimedia.

Sistem hiperteks dan basisdata dapat menelusuri masalah melalui kode-kode yang telah disediakan yang kemudian dapat menghubungkannya dengan berbagai informasi yang berupa teks, grafik, video, atau suara. Para pendidik telah mendukung browsing‟ sebagai satu cara proses belajar. (Jonassen & Wang 1993; Spiro & Jehng 1990). Pengguna yang mengikuti link-link mereka dan menyelidiki bagian- bagian yang menarik bagi mereka akan menjiwai apa yang mereka pelajari. Tanggapan tambahan ini adalah sesuatu yang baik, tetapi dapat pula muncul beberapa persolan yang lain.

Persoalan-persoalan itu yang berhubungan dengan pencarian peserta didik pada hiperteks. Peserta didik dengan mudah bisa tidak terarah dalam hiperteks yang mungkin mengandung informasi yang cukup besar tetapi sering mengandung sedikit ilmu. Mengambil keputusan tentang arah yang harus ditempuh memang sukar. Dengan mengambil arah yang demikian mungkin menyebabkan mereka


berada di satu tempat yang tidak mereka harapkan, atau teks mungkin terstruktur dalam satu cara yang tidak mereka duga dari semula. Hammond (1993) membanding pengalaman menggunakan satu permainan bagi pengguna yang tidak yakin tentang apa yang akan dipilih dan apa yang akan terjadi berikutnya -„tetapi paling sedikit hal itu menjadi sesuatu yang menarik dan tidak diharapkan. Mereka tidak mampu menempatkan informasi tertentu dan tidak menyadari bagaimana dan di mana informasi sesuai dengan struktur, atau jalan menuju ke arah informasi tersebut. Peserta didik yang tidak jelas tujuan bisa mencari sesuatu di lingkungan sebagai petunjuk apa yang akan dilakukan berikutnya. Peserta didik yang tidak melakukan penelusuran dengan cara ini tanpa arahan mungkin tidak mampu bertanya kepada diri mereka sendiri.

MULTIMEDIA MEMBERIKAN KEMUDAHAN MENGONTROL YANG SISTEMATIS DALAM PEMBELAJARAN

Proses belajar berbantukan komputer bisa dilaksanakan secara berkelompok atau sendirian. Walaupun berkelompok, namun pada dasarnya bahwa proses belajar adalah tugas perseorangan/individual (Gagne, 1971). Lebih jauh Laurillard (1987) menjelaskan bahwa tidak ada alasan untuk desainer program, apakah pendidik, peneliti, atau pemprogram, mengetahui lebih baik daripada peserta didik bagaimana mereka seharusnya belajar. Oleh karena itu kita akan mendisain bahan- bahan untuk media yang dapat dipercaya bagi menyediakan pelajaran yang sesuai dengan peserta didik itu sendiri.

Sebagai tambahan kepada masalah ini Taylor & Laurillard (1994) menyarankan kontrol terhadap proses belajar adalah penting dalam perkembangan peserta didik karena akan menolong memperkuat rasa memiliki, dan membantu perkembangan ke arah kedewasaan, keilmuan dan mencerminkan pendekatan proses belajar yang akan bernilai sepanjang masa.

Multimedia menyediakan peluang yang sangat besar terhadap kontrol peserta didik dibandingkan media-media lainnya. Peserta didik tidak hanya mempunyai kontrol terhadap kedalaman dan pemilihan bahan tetapi juga interaktif yang memungkinkan peserta


didik menjalin komunikasi dengan program. Dalam mendefinisikan kontrol peserta didik, Baker (1990) menetapkan unsur-unsur pengguna berdasarkan perintah-perintah sebagai berikut: apa yang dipelajari, langkah-langkah belajar, arah proses belajar yang harus diambil, dan gaya dan strategi dari proses belajar yang harus dilakukan. Sedangkan Laurillard (1987) mempertimbangkan tiga aspek kontrol, yaitu:

  1. strategiprosesbelajar;bisakahpesertadidikmengambilkeputusan tentang urutan isi dan aktivitas pembelajaran?

  2. manipulasi isi proses belajar; cara peserta didik mengalami yang dipelajari.

  3. gambaran isi; bisakah peserta didik mengembangkan pandangan mereka pada subjek-subjek tertentu?

    Hiperteks memungkinkan pengguna melakukan kontrol dalam

jumlah yang besar, tetapi tidak ada interaksi. Peserta didik tertinggal dalam pencarian bahan-bahan yang mereka senangi. Plowman (1988) menyarankan bahwa kebebasan peserta didik dalam menentukan proses belajar mereka dapat membangkitkan motivasi. Hiperteks sesungguhnya menawarkan satu tingkat kontrol pengguna yang tinggi meskipun tidak menolong menentukan tujuan proses belajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DSL dan ADSL

      Digital subscriber line  (disingkat  DSL ) adalah teknologi yang menyediakan penghantar  data   digital  melewati kabel yang digunakan...